Rabu, 15 Oktober 2014

thumbnail

Jokowi, Rakyat, dan Parlemen

Oleh : Ahmad Millah Hasan

POLITIK itu dunia tanpa ’’titik’’. Ibarat kata, politik itu selalu pakai tanda baca ’’koma’’. Politik terus berkembang sesuai kepentingan elite politik. Karena itu, dalam politik, tidak ada lawan dan kawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Hari ini masih kedelai, besok menjadi tempe.
Itulah gambaran tentang peta politik nasional belakangan ini. Koalisi Merah Putih (KMP) terlihat masih dominan, membuat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tak berdaya di DPR. Dominasi tersebut terbukti dengan keberhasilan mereka memenangi voting pilkada tak langsung.
Bukan hanya itu, mereka juga merebut dua posisi strategis, yaitu ketua DPR dan ketua MPR. Terakhir, yang akan direbut adalah posisi ketua komisi. Belum lagi, jumlah komisi yang rencana hendak ditambah. Selain sarat dengan akal-akalan bagi-bagi jabatan, pemekaran komisi menghambur-hamburkan uang negara. Jika niat itu terealisasi, KMP berhasil menyabet semua posisi di parlemen.
Hal tersebut menambah panjang daftar kegagalan KIH dalam perebutan pimpinan strategis lembaga di Senayan. Fakta itu menciptakan kegalauan di kalangan pendukung Joko Widodo (Jokowi). Mereka khawatir pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tak berlangsung lama.
Sapu bersih kekuasaan di parlemen oleh KMP memunculkan dugaan adanya skenario impeachment atau penjegalan sebelum pelantikan 20 Oktober. Padahal, tidak semudah itu melakukan langkah impeachment.
Situasi yang dialami Jokowi berbeda dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diangkat MPR waktu itu. Posisi Jokowi sebagai presiden terpilih sangat kuat. Jokowi adalah presiden RI ketujuh berdasar Keputusan KPU Nomor 535/KPTS/KPU/2014 dan putusan MK pada 21 Agustus 2014.
Pimpinan DPR, MPR, dan DPD telah menyatakan siap menyukseskan pelantikan Jokowi-JK pada 20 Oktober. Dengan begitu, semua pihak tak terlalu mengumbar paranoid politik kepada masyarakat. Tak perlu juga menebar informasi tentang kekosongan kekuasaan lewat media sosial.
Presiden terpilih Jokowi pasti dilantik sebagai presiden sesuai amanat konstitusi, yakni pasal 9 ayat (1) UUD 1945 Amandemen. Disebutkan dalam pasal dan ayat tersebut, ’’Sebelum memangku jabatannya, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat...’’
Dasar lainnya, pasal 34 ayat 5, 6, dan 7 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Disebutkan dalam pasal 34 ayat 5 UU MD3, ’’Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.’’
Sementara itu, pasal 5 UU MD3 tersebut menyebutkan, ’’Dalam hal DPR tidak menyelenggarakan rapat paripurna sebagaimana ayat (5), presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.’’ Ayat 7 menyatakan, berita acara pelantikan presiden dan wakil presiden ditandatangani oleh presiden dan wakil presiden serta pimpinan MPR.
Kedua, secara struktur tata negara, tidak mudah menjatuhkan presiden dalam sistem presidensial, apalagi presiden ini terpilih secara langsung oleh rakyat. Berdasar penetapan rekapitulasi penghitungan perolehan suara pemilu presiden, Jokowi-JK unggul jutaan suara atas pesaingnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
KPU menyatakan pasangan Jokowi-JK memperoleh 70.997.833 suara atau 53,15 persen, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444 suara atau 45,85 persen. Dengan demikian, ada selisih 8.421.398 suara. Adapun jumlah total suara sah adalah 133.574.277.
Ketiga, sebagai presiden yang terpilih secara langsung, Jokowi akan dibela rakyat. Relawan pendukung Jokowi akan tumpah ruah ke jalan dengan titik pusat gedung DPR RI, jika terjadi apa-apa pada Jokowi. Kecuali, Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran konstitusi. Namun, itu pun harus dibuktikan melalui proses politik yang rumit.
Keempat, belum lagi perkembangan peta politik pasca pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober. Bukan tidak mungkin ada partai yang menyeberang dari KMP menuju KIH, atau sebaliknya. Peta politik di parlemen bisa berubah sangat cepat. Terbukti, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hampir pasti bergabung ke KIH. Hanya, partai berlambang Kakbah itu masih mengalami problem internal.
Partai lain tinggal menunggu waktu. Yang pasti, Jokowi, sebelum pelantikan, dipastikan berbeda dengan situasi setelah dilantik menjadi presiden. Ibaratnya, sekarang Jokowi bukan siapa-siapa. Dia adalah gubernur DKI yang beberapa hari lalu mundur. Jadi, Jokowi hanya presiden terpilih yang di belakangnya ada rakyat yang memilihnya. Jokowi belum punya wibawa presiden dan pemimpin negara. Bandingkan Prabowo yang kini masih didukung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penguasa.
Lepas dari itu, demokrasi di Indonesia kini menjadi perhatian dunia internasional. Betapa tidak, di negeri dengan lebih dari 250 juta jiwa ini, sebelum UU Pilkada yang baru, presiden hingga kepala desa dipilih secara langsung. Meski harus diakui kualitasnya perlu diperbaiki, demokrasi di Indonesia telah mengundang decak kagum masyarakat dunia. Karena itu, kestabilan pemerintahan yang baru harus dijaga, terutama para elite politik. Keamanan Indonesia akan berdampak pada aspek lain, terutama ekonomi.
Sementara itu, presiden terpilih Jokowi sebaiknya tetap konsentrasi dan fokus pada masalah ekonomi. Sebab, masalah geo-ekonomi menjadi tren kebijakan negara di dunia dewasa ini. Kinerja kabinet yang konsisten pada kesejahteraan rakyat dengan fokus menjaga kesehatan ekonomi. Apalagi, sejak berakhirnya Perang Dingin, legitimasi ekonomi sebagai faktor yang dominan untuk kestabilan suatu negara.
Dahulu, para politikus dianggap menyelamatkan dunia. Tapi, di era globalisasi dewasa ini, justru pejabat publik di bidang ekonomi sebagai pengambil kebijakan yang paling berperan dalam menstabilkan jalannya pemerintahan. Pengalaman membuktikan, terjadinya reformasi drastis di suatu negara, termasuk di Indonesia, diawali dengan krisis ekonomi sehingga rezim Orba runtuh. Setelah itu, menjalar ke sektor politik.
Presiden terpilih Joko Widodo sebaiknya tak terlalu terjebak pada masalah politik yang tidak substansional, tapi lebih fokus pada pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan ekonomi yang membawa kesejahteraan rakyat akan lebih menjamin keberlangsungan pemerintahan pada masa mendatang.
*) Direktur Pusat Pemberdayaan dan Transformasi Masyarakat (Pesat) (ahmad_millah@yahoo.com)

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

About

Diberdayakan oleh Blogger.