Kamis, 09 Oktober 2014

thumbnail

Ahmad Millah Alumni MA Tarbiyatut Tholabah


JAWA POS, 17 September 2014 :
KEMENANGAN pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada pilpres 9 Juli lalu masih berbuntut panjang. Pasalnya, Koalisi Merah putih (KMP) sebagai pengusung Prabowo-Hatta terus memberikan perlawanan. Kali ini, mereka kembali melakukan perlawanan dengan upaya pengesahan RUU pilkada yang di dalamnya terdapat mekanisme pemilihan kepala daerah tak langsung atau lewat DPRD. Usul pilkada lewat DPRD mendominasi saat pembahasan RUU pilkada di DPR. Partai Golkar (106 kursi), PPP (38 kursi), PAN (46 kursi), PKS (57 kursi), dan Partai Gerindra (26 kursi) yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendorong pilkada lewat DPRD. Demokrat (148 kursi) berpendapat sama. Jika tidak terjadi musyawarah mufakat, pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan voting. Total suara pendukung pilkada lewat DPRD mencapai 421 kursi. Kini, peta politik bisa berbalik. Sebelumnya, hanya tiga parpol yang mendukung mekanisme pilkada secara langsung, yakni PDIP (94 kursi), PKB (28 kursi), dan Partai Hanura (17 kursi). Belakangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ketua umum Partai Demokrat memilih pilkada langsung oleh rakyat. Jika sikap SBY itu diikuti Fraksi Demokrat di DPR, suara pendukung pilkada langsung di DPR mencapai 287 kursi. Sementara itu, pendukung pilkada lewat DPRD sebesar 273 kursi. Terkait dengan sikap SBY tersebut, tampaknya, pada akhir masa jabatannya, presiden enggan berlawanan dengan gerakan arus bawah yang semakin kuat dan masif melawan kehendak KMP. Apalagi, penolakan terhadap pilkada tak langsung juga muncul dari kepala daerah yang juga kader partai dari KMP sendiri. Belum lagi desakan dari massa aktivis prodemokrasi yang menilai pilkada tak langsung adalah kemunduran demokrasi. Pada pilpres lalu, pasangan Jokowi-JK unggul cukup signifikan atas pasangan Prabowo-Hatta. Sebagai pemenang pilpres, logikanya, Jokowi-JK lebih banyak didukung rakyat dan besarnya dukungan itu merata di daerah. Belum lagi pendukung Prabowo-Hatta di bawah yang sudah berpindah aliran. Data terkini, menurut survei quick poll Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mayoritas konstituen dari parpol dalam KMP tak menyetujui kepala daerah dipilih DPRD. Lebih dari 75 persen konstituen atau pemilih parpol Koalisi Merah Putih menginginkan kepala daerah dipilih langsung, tidak melalui DPRD seperti yang diinginkan koalisi. Perinciannya, sebanyak 81,20 persen pendukung Golkar memilih pilkada langsung, Demokrat 80,77 persen, Gerindra 82,55 persen, PKS 80,23 persen, PAN 85,11 persen, PPP 76,66 persen, dan PBB 87,65 persen. Hasil penelitian LSI itu dilakukan terhadap 1.200 responden. Penelitian diadakan pada 5 sampai 7 September 2014 dengan margin of error 2,9 persen. Survei dilakukan di 33 provinsi lewat metode quick poll. Ada dua hal yang patut diperhatikan dalam wacana ini. Pertama, substansi. Pilkada langsung maupun tidak langsung sebenarnya sama-sama tidak bisa menghilangkan politik uang. Kecenderungan politik uang hanya akan berpindah dari lapangan luas ke lapangan yang terfokus, yaitu DPRD. Terkait itu, KPK akan mudah mendeteksi peredaran uang lantaran wilayah persebaran yang terbatas di sekitar DPRD. Hasyim Muzadi adalah tokoh NU yang sejak 2009 mengampanyekan pilkada tak langsung. Usul itu murni demi kemaslahatan umat. Maksudnya, rakyat tak terlibat langsung dalam demokrasi transaksional karena sudah diambil alih DPRD. Usul tersebut jelas berbeda motif dengan wacana yang diusung KMP. Yaitu, menjadi penguasa di daerah. Kedua, aspek politis. Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa pemilihan presiden dipilih langsung. Tentu, dalam hal ini pemilihan kepala daerah harus disamakan dengan sistem pemilihan presiden. Lebih jauh dinyatakan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa kepala daerah dipilih melalui pemilu sebagaimana sistem pemilihan presiden. Bila dalam RUU pilkada menggagas pilkada serentak bahwa gubernur dipilih langsung oleh DPRD, jelas itu bertentangan dengan perundang-undangan. Di balik ngotot-nya sikap KMP, rupanya mereka punya skenario lain setelah tumbang di pilpres. Yaitu, ’’mengavling’’ kekuasaan di daerah lewat koalisi yang mereka bangun. Terang saja, publik mudah menyimpulkan bahwa wacana penghapusan pilkada langsung itu beraroma dendam pilpres. Di sisi lain, apa yang dilakukan KMP adalah bentuk pragmatisme politik yang menanggalkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dan, bicara politik adalah bicara keuntungan. Jika kini fraksi di DPR getol bicara pilkada tak langsung, itu dilakukan karena keuntungan yang didapat tentu lebih besar. Namun, keuntungan tersebut hanya diperjuangkan untuk kepentingan elite parpol, bukan rakyat. Karena itulah, wacana mengembalikan pilkada oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD ditentang rakyat. Perlawanan paling nyata ditunjukkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaja Purnama atau Ahok. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan, dia dengan tegas menyatakan mundur dari Partai Gerindra. Abraham Lincoln menyatakan, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara itu, menurut Charles Costello, demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara. Dan, menurut John L. Esposito, demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Karena itu, semuanya berhak berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu, tentu saja, dalam lembaga resmi pemerintah, terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Atas dasar itulah, pilkada tak langsung dinilai sebagai kemunduran demokrasi dan merampas aspirasi rakyat. Menghapus pilkada tak langsung sama dengan memasung hak suara rakyat. Bahkan, terlepas masih adanya banyak kekurangan, demokrasi telah mengangkat nama baik Indonesia di mata internasional sebagai negara berkembang yang bisa melaksanakan pemilihan secara langsung dengan damai. Rakyat memang perlu tetap diberi kepercayaan untuk menentukan pilihannya sendiri. Apalagi, DPR/DPRD selama ini kerap melakukan perilaku yang mendistorsi dan melukai hati rakyat. Mereka lebih memilih mengabdi kepada parpol ketimbang membela hak rakyat. Berdasar hasil survei Cirus Surveyor Group awal tahun lalu, kepercayaan masyarakat terhadap DPR ternyata rendah. Masalah itu terjadi karena DPR tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Survei tersebut menyebutkan bahwa 53,6 persen responden menilai anggota DPR periode 2009–2014 tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Kemudian, sebanyak 51,9 persen responden menilai anggota DPR belum melakukan pengawasan terhadap pemerintah dengan baik. Terakhir, sebanyak 47,9 persen responden menilai anggota DPR tidak membuat UU yang bermanfaat untuk kepentingan rakyat. Hasil lainnya, sebanyak 60,1 persen responden merasa anggota DPR tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Kemudian, sebanyak 50,1 persen responden merasa anggota DPRD kabupaten/kota tidak memperjuangkan aspirasi mereka. Lalu, sebanyak 58,4 persen responden merasa anggota DPRD provinsi juga tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. *) Direktur Pusat Pemberdayaan dan Transformasi Masyarakat (Pesat) (ahmad.millah@gmail.com) 

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

About

Diberdayakan oleh Blogger.