Rabu, 29 Oktober 2014

thumbnail

Pesta Demokrasi "Pemilihan Ketua OSIS Periode 2014-2015"


Annashihah  Tabah News : Hari ini Kamis, 30 Oktober 2014  OSIS MA Tarbiyatut Tholabah melangsungkan pemilihan ketua OSIS. Sebanyak 890 siswa menggunakan hak suarnya untuk menentuk ketua OSIS periode 2014-2015. Enam calon ketua, 3 putra dan 3 putri. Pemilihan dilakukan secara Online. Okey selamat semoga dapat ketua yang amanah, adil dan bijaksana.

Minggu, 19 Oktober 2014

thumbnail

Pramuka MA Tabah Kembali Berjaya


Annasihah
Kontingen Pramuka MA Tarbiyatut Tholabah kranji kembali berjaya dalam event “ Kontes Pramuka Trampil 2014” yang diselenggarakan  oleh Unit Kegiatan Pramuka Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Mereka mengungkapkan kegembiraannya setelah meraih kemenanga dengan menyebet 2 emas dari 7 emas yang diperebutkan. 

Menurut putri (ketua ambalan), kemenangan ini sangat berarti bagi tim ambalan putri MA TABAH (red. Tarbiyatut Tholabah), dengan meraih 2 emas dari perlombaan hidromodeling dan water roket , membuat kami sangat tertantang untuk lebih kreatif dan semangat berlatih demi kemajuan pramuka di madrasah aliyah tercinta ini.

Kegiatan yang diselenggarakan selama 4 hari (16 s.d 19 Oktober 2014) dan di ikuti 43 utusan MA/SMA/SMK negeri dan swasta se-Jawa Timur, juga mampu mengantarkan Tim Ambalan Putri MA TABAH mendapatkan penghargaan Best Desain Hidromodelin. 

Menurut  Khoirul Amin, M.Pd sebagai Ka. Gudep MA Tabah “Saya bangga dengan Tim Ambalan Putri MA TABAH yang mampu meningkatkan prestasi dalam ajang 2 tahunan tersebut” 

Sebagai awal diwajibkannya kegiatan ekrakurikuler pramuka di MA TABAH tahun ini, Tim ambalan MA TABAH mampu meningkatkan berprestasi dan bersaing dengan sekolah-sekolah Negeri. Hal ini dapat meningkatkan semangat anak-anak yang lain untuk lebih kreatif dan aktif dalam mengikuti kegiatan kepramukaan. Tandasnya. [c’klik]



Rabu, 15 Oktober 2014

thumbnail

Jokowi, Rakyat, dan Parlemen

Oleh : Ahmad Millah Hasan

POLITIK itu dunia tanpa ’’titik’’. Ibarat kata, politik itu selalu pakai tanda baca ’’koma’’. Politik terus berkembang sesuai kepentingan elite politik. Karena itu, dalam politik, tidak ada lawan dan kawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Hari ini masih kedelai, besok menjadi tempe.
Itulah gambaran tentang peta politik nasional belakangan ini. Koalisi Merah Putih (KMP) terlihat masih dominan, membuat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tak berdaya di DPR. Dominasi tersebut terbukti dengan keberhasilan mereka memenangi voting pilkada tak langsung.
Bukan hanya itu, mereka juga merebut dua posisi strategis, yaitu ketua DPR dan ketua MPR. Terakhir, yang akan direbut adalah posisi ketua komisi. Belum lagi, jumlah komisi yang rencana hendak ditambah. Selain sarat dengan akal-akalan bagi-bagi jabatan, pemekaran komisi menghambur-hamburkan uang negara. Jika niat itu terealisasi, KMP berhasil menyabet semua posisi di parlemen.
Hal tersebut menambah panjang daftar kegagalan KIH dalam perebutan pimpinan strategis lembaga di Senayan. Fakta itu menciptakan kegalauan di kalangan pendukung Joko Widodo (Jokowi). Mereka khawatir pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tak berlangsung lama.
Sapu bersih kekuasaan di parlemen oleh KMP memunculkan dugaan adanya skenario impeachment atau penjegalan sebelum pelantikan 20 Oktober. Padahal, tidak semudah itu melakukan langkah impeachment.
Situasi yang dialami Jokowi berbeda dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diangkat MPR waktu itu. Posisi Jokowi sebagai presiden terpilih sangat kuat. Jokowi adalah presiden RI ketujuh berdasar Keputusan KPU Nomor 535/KPTS/KPU/2014 dan putusan MK pada 21 Agustus 2014.
Pimpinan DPR, MPR, dan DPD telah menyatakan siap menyukseskan pelantikan Jokowi-JK pada 20 Oktober. Dengan begitu, semua pihak tak terlalu mengumbar paranoid politik kepada masyarakat. Tak perlu juga menebar informasi tentang kekosongan kekuasaan lewat media sosial.
Presiden terpilih Jokowi pasti dilantik sebagai presiden sesuai amanat konstitusi, yakni pasal 9 ayat (1) UUD 1945 Amandemen. Disebutkan dalam pasal dan ayat tersebut, ’’Sebelum memangku jabatannya, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat...’’
Dasar lainnya, pasal 34 ayat 5, 6, dan 7 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Disebutkan dalam pasal 34 ayat 5 UU MD3, ’’Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.’’
Sementara itu, pasal 5 UU MD3 tersebut menyebutkan, ’’Dalam hal DPR tidak menyelenggarakan rapat paripurna sebagaimana ayat (5), presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.’’ Ayat 7 menyatakan, berita acara pelantikan presiden dan wakil presiden ditandatangani oleh presiden dan wakil presiden serta pimpinan MPR.
Kedua, secara struktur tata negara, tidak mudah menjatuhkan presiden dalam sistem presidensial, apalagi presiden ini terpilih secara langsung oleh rakyat. Berdasar penetapan rekapitulasi penghitungan perolehan suara pemilu presiden, Jokowi-JK unggul jutaan suara atas pesaingnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
KPU menyatakan pasangan Jokowi-JK memperoleh 70.997.833 suara atau 53,15 persen, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444 suara atau 45,85 persen. Dengan demikian, ada selisih 8.421.398 suara. Adapun jumlah total suara sah adalah 133.574.277.
Ketiga, sebagai presiden yang terpilih secara langsung, Jokowi akan dibela rakyat. Relawan pendukung Jokowi akan tumpah ruah ke jalan dengan titik pusat gedung DPR RI, jika terjadi apa-apa pada Jokowi. Kecuali, Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran konstitusi. Namun, itu pun harus dibuktikan melalui proses politik yang rumit.
Keempat, belum lagi perkembangan peta politik pasca pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober. Bukan tidak mungkin ada partai yang menyeberang dari KMP menuju KIH, atau sebaliknya. Peta politik di parlemen bisa berubah sangat cepat. Terbukti, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hampir pasti bergabung ke KIH. Hanya, partai berlambang Kakbah itu masih mengalami problem internal.
Partai lain tinggal menunggu waktu. Yang pasti, Jokowi, sebelum pelantikan, dipastikan berbeda dengan situasi setelah dilantik menjadi presiden. Ibaratnya, sekarang Jokowi bukan siapa-siapa. Dia adalah gubernur DKI yang beberapa hari lalu mundur. Jadi, Jokowi hanya presiden terpilih yang di belakangnya ada rakyat yang memilihnya. Jokowi belum punya wibawa presiden dan pemimpin negara. Bandingkan Prabowo yang kini masih didukung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penguasa.
Lepas dari itu, demokrasi di Indonesia kini menjadi perhatian dunia internasional. Betapa tidak, di negeri dengan lebih dari 250 juta jiwa ini, sebelum UU Pilkada yang baru, presiden hingga kepala desa dipilih secara langsung. Meski harus diakui kualitasnya perlu diperbaiki, demokrasi di Indonesia telah mengundang decak kagum masyarakat dunia. Karena itu, kestabilan pemerintahan yang baru harus dijaga, terutama para elite politik. Keamanan Indonesia akan berdampak pada aspek lain, terutama ekonomi.
Sementara itu, presiden terpilih Jokowi sebaiknya tetap konsentrasi dan fokus pada masalah ekonomi. Sebab, masalah geo-ekonomi menjadi tren kebijakan negara di dunia dewasa ini. Kinerja kabinet yang konsisten pada kesejahteraan rakyat dengan fokus menjaga kesehatan ekonomi. Apalagi, sejak berakhirnya Perang Dingin, legitimasi ekonomi sebagai faktor yang dominan untuk kestabilan suatu negara.
Dahulu, para politikus dianggap menyelamatkan dunia. Tapi, di era globalisasi dewasa ini, justru pejabat publik di bidang ekonomi sebagai pengambil kebijakan yang paling berperan dalam menstabilkan jalannya pemerintahan. Pengalaman membuktikan, terjadinya reformasi drastis di suatu negara, termasuk di Indonesia, diawali dengan krisis ekonomi sehingga rezim Orba runtuh. Setelah itu, menjalar ke sektor politik.
Presiden terpilih Joko Widodo sebaiknya tak terlalu terjebak pada masalah politik yang tidak substansional, tapi lebih fokus pada pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan ekonomi yang membawa kesejahteraan rakyat akan lebih menjamin keberlangsungan pemerintahan pada masa mendatang.
*) Direktur Pusat Pemberdayaan dan Transformasi Masyarakat (Pesat) (ahmad_millah@yahoo.com)

Minggu, 12 Oktober 2014

thumbnail

Studi Kampus MA Tarbiyatut Tholabah

Studi Kampus UIN Malang

Studi Kampus UM Malang

Studi Kampus UGM Yogja


Studi Kampus UNISMA Malang

Studi Kampus UNDIP Semarang

Studi Kampus UNDIP Semarang




Kamis, 09 Oktober 2014

thumbnail

Ahmad Millah Alumni MA Tarbiyatut Tholabah


JAWA POS, 17 September 2014 :
KEMENANGAN pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada pilpres 9 Juli lalu masih berbuntut panjang. Pasalnya, Koalisi Merah putih (KMP) sebagai pengusung Prabowo-Hatta terus memberikan perlawanan. Kali ini, mereka kembali melakukan perlawanan dengan upaya pengesahan RUU pilkada yang di dalamnya terdapat mekanisme pemilihan kepala daerah tak langsung atau lewat DPRD. Usul pilkada lewat DPRD mendominasi saat pembahasan RUU pilkada di DPR. Partai Golkar (106 kursi), PPP (38 kursi), PAN (46 kursi), PKS (57 kursi), dan Partai Gerindra (26 kursi) yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendorong pilkada lewat DPRD. Demokrat (148 kursi) berpendapat sama. Jika tidak terjadi musyawarah mufakat, pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan voting. Total suara pendukung pilkada lewat DPRD mencapai 421 kursi. Kini, peta politik bisa berbalik. Sebelumnya, hanya tiga parpol yang mendukung mekanisme pilkada secara langsung, yakni PDIP (94 kursi), PKB (28 kursi), dan Partai Hanura (17 kursi). Belakangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ketua umum Partai Demokrat memilih pilkada langsung oleh rakyat. Jika sikap SBY itu diikuti Fraksi Demokrat di DPR, suara pendukung pilkada langsung di DPR mencapai 287 kursi. Sementara itu, pendukung pilkada lewat DPRD sebesar 273 kursi. Terkait dengan sikap SBY tersebut, tampaknya, pada akhir masa jabatannya, presiden enggan berlawanan dengan gerakan arus bawah yang semakin kuat dan masif melawan kehendak KMP. Apalagi, penolakan terhadap pilkada tak langsung juga muncul dari kepala daerah yang juga kader partai dari KMP sendiri. Belum lagi desakan dari massa aktivis prodemokrasi yang menilai pilkada tak langsung adalah kemunduran demokrasi. Pada pilpres lalu, pasangan Jokowi-JK unggul cukup signifikan atas pasangan Prabowo-Hatta. Sebagai pemenang pilpres, logikanya, Jokowi-JK lebih banyak didukung rakyat dan besarnya dukungan itu merata di daerah. Belum lagi pendukung Prabowo-Hatta di bawah yang sudah berpindah aliran. Data terkini, menurut survei quick poll Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mayoritas konstituen dari parpol dalam KMP tak menyetujui kepala daerah dipilih DPRD. Lebih dari 75 persen konstituen atau pemilih parpol Koalisi Merah Putih menginginkan kepala daerah dipilih langsung, tidak melalui DPRD seperti yang diinginkan koalisi. Perinciannya, sebanyak 81,20 persen pendukung Golkar memilih pilkada langsung, Demokrat 80,77 persen, Gerindra 82,55 persen, PKS 80,23 persen, PAN 85,11 persen, PPP 76,66 persen, dan PBB 87,65 persen. Hasil penelitian LSI itu dilakukan terhadap 1.200 responden. Penelitian diadakan pada 5 sampai 7 September 2014 dengan margin of error 2,9 persen. Survei dilakukan di 33 provinsi lewat metode quick poll. Ada dua hal yang patut diperhatikan dalam wacana ini. Pertama, substansi. Pilkada langsung maupun tidak langsung sebenarnya sama-sama tidak bisa menghilangkan politik uang. Kecenderungan politik uang hanya akan berpindah dari lapangan luas ke lapangan yang terfokus, yaitu DPRD. Terkait itu, KPK akan mudah mendeteksi peredaran uang lantaran wilayah persebaran yang terbatas di sekitar DPRD. Hasyim Muzadi adalah tokoh NU yang sejak 2009 mengampanyekan pilkada tak langsung. Usul itu murni demi kemaslahatan umat. Maksudnya, rakyat tak terlibat langsung dalam demokrasi transaksional karena sudah diambil alih DPRD. Usul tersebut jelas berbeda motif dengan wacana yang diusung KMP. Yaitu, menjadi penguasa di daerah. Kedua, aspek politis. Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa pemilihan presiden dipilih langsung. Tentu, dalam hal ini pemilihan kepala daerah harus disamakan dengan sistem pemilihan presiden. Lebih jauh dinyatakan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa kepala daerah dipilih melalui pemilu sebagaimana sistem pemilihan presiden. Bila dalam RUU pilkada menggagas pilkada serentak bahwa gubernur dipilih langsung oleh DPRD, jelas itu bertentangan dengan perundang-undangan. Di balik ngotot-nya sikap KMP, rupanya mereka punya skenario lain setelah tumbang di pilpres. Yaitu, ’’mengavling’’ kekuasaan di daerah lewat koalisi yang mereka bangun. Terang saja, publik mudah menyimpulkan bahwa wacana penghapusan pilkada langsung itu beraroma dendam pilpres. Di sisi lain, apa yang dilakukan KMP adalah bentuk pragmatisme politik yang menanggalkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dan, bicara politik adalah bicara keuntungan. Jika kini fraksi di DPR getol bicara pilkada tak langsung, itu dilakukan karena keuntungan yang didapat tentu lebih besar. Namun, keuntungan tersebut hanya diperjuangkan untuk kepentingan elite parpol, bukan rakyat. Karena itulah, wacana mengembalikan pilkada oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD ditentang rakyat. Perlawanan paling nyata ditunjukkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaja Purnama atau Ahok. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan, dia dengan tegas menyatakan mundur dari Partai Gerindra. Abraham Lincoln menyatakan, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara itu, menurut Charles Costello, demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara. Dan, menurut John L. Esposito, demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Karena itu, semuanya berhak berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu, tentu saja, dalam lembaga resmi pemerintah, terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Atas dasar itulah, pilkada tak langsung dinilai sebagai kemunduran demokrasi dan merampas aspirasi rakyat. Menghapus pilkada tak langsung sama dengan memasung hak suara rakyat. Bahkan, terlepas masih adanya banyak kekurangan, demokrasi telah mengangkat nama baik Indonesia di mata internasional sebagai negara berkembang yang bisa melaksanakan pemilihan secara langsung dengan damai. Rakyat memang perlu tetap diberi kepercayaan untuk menentukan pilihannya sendiri. Apalagi, DPR/DPRD selama ini kerap melakukan perilaku yang mendistorsi dan melukai hati rakyat. Mereka lebih memilih mengabdi kepada parpol ketimbang membela hak rakyat. Berdasar hasil survei Cirus Surveyor Group awal tahun lalu, kepercayaan masyarakat terhadap DPR ternyata rendah. Masalah itu terjadi karena DPR tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Survei tersebut menyebutkan bahwa 53,6 persen responden menilai anggota DPR periode 2009–2014 tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Kemudian, sebanyak 51,9 persen responden menilai anggota DPR belum melakukan pengawasan terhadap pemerintah dengan baik. Terakhir, sebanyak 47,9 persen responden menilai anggota DPR tidak membuat UU yang bermanfaat untuk kepentingan rakyat. Hasil lainnya, sebanyak 60,1 persen responden merasa anggota DPR tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Kemudian, sebanyak 50,1 persen responden merasa anggota DPRD kabupaten/kota tidak memperjuangkan aspirasi mereka. Lalu, sebanyak 58,4 persen responden merasa anggota DPRD provinsi juga tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. *) Direktur Pusat Pemberdayaan dan Transformasi Masyarakat (Pesat) (ahmad.millah@gmail.com) 

About

Diberdayakan oleh Blogger.